Breaking News

13 Gelar Bangsawan Suku Bugis dan Makassar, Andi hingga Daeng


Ket. : Ilustrasi Bangsawan Suku Bugis.

Masyarakat suku Bugis dan Makassar yang mendiami wilayah Sulawesi Selatan (Sulsel) dikenal dengan keragaman budayanya yang masih sangat terjaga hingga kini. Salah satu budaya suku Bugis-Makassar yang menonjol yaitu penggunaan gelar bangsawan.


Beberapa contoh gelar bangsawan seperti 'Andi' atau 'Daeng' mungkin sudah cukup familiar bagi banyak orang. Selain dua gelar tersebut, rupanya masih banyak gelar bangsawan lainnya di Sulsel.


Gelar bangsawan bagi suku Bugis-Makassar merupakan penggolongan berdasarkan tingkat strata sosial dalam masyarakat. Gelar yang diberikan tidak sembarangan karena harus berdasarkan silsilah keturunan.



Dikutip dari jurnal Balai Arkeologi Sulawesi Selatan yang berjudul 'Refleksi Stratifikasi Sosial Masyarakat Bugis pada Situs Kompleks Makam Kalokkoe Watu Soppeng', konsep strata sosial masyarakat suku Bugis-Makassar di Sulsel muncul sejak kedatangan To Manurung. Dimulai dengan turunnya Tomboro Langi di puncak Gunung Latimojong yang menyebut dirinya sebagai raja yang diutus dari langit untuk memimpin umat manusia di bumi.


Pada periode selanjutnya, ketika masyarakat terlilit kesulitan, To Manurung kembali muncul sebagai Batara Guru di Luwu. Kemudian pada abad ke-14, To Manurung lain kembali bermunculan dan menyebar di seluruh daerah Sulsel dalam rentan waktu yang hampir sama.


Setelah berakhirnya masa To Manurung, raja dipilih dari kasta tertinggi (ana'karaeng) yang berasal dari keturunan To Manurung. Sejak saat itu, muncullah stratifikasi sosial yang membentuk masyarakat kelas atas pada suku Bugis Makassar.


Beberapa contoh gelar kebangsawanan yang dipakai saat itu seperti Andi, Daeng, Karaeng dan lain sebagainya. Gelar-gelar tersebut hingga saat ini masih berlaku dan banyak digunakan oleh masyarakat Suku Bugis-Makassar dari keturunan bangsawan.



Tingkatan Gelar Bangsawan Suku Bugis-Makassar

Dikutip dari jurnal Universitas Negeri Makassar yang berjudul 'Reduksi Peran Golongan Bangsawan Bugis dalam Kehidupan Sosial di Desa Sanrego Kecamatan Kahu Kabupaten Bone', penggolongan atau stratifikasi masyarakat suku Bugis-Makassar di Sulsel terdiri atas tiga tingkatan, yaitu:


1. Ana'Karaeng

Ana'karaeng adalah kasta tertinggi dalam stratifikasi masyarakat suku Bugis-Makassar. Tingkatan ini meliputi kerabat raja-raja yang menguasai sistem ekonomi dan pemerintahan atau dikenal oleh keluarga bangsawan.


2. Tumaradeka

Tumaradeka adalah kasta tingkat kedua dalam sistem masyarakat suku Bugis-Makassar. Orang-orang tersebut mayoritas masyarakat Sulsel yang merdeka atau tidak diperbudak.


3. Ata

Ata merupakan kasta terendah dalam strata sosial masyarakat suku Bugis-Makassar. Tingkat ketiga ini terdiri dari budak atau orang-orang yang diperintah karena terlilit utang, melanggar pantangan adat, dan lain sebagainya.



Gelar bangsawan dalam suku Bugis-Makassar dipakai oleh mereka yang berada pada kasta tertinggi dalam stratifikasi sosial masyarakat, yaitu Ana'karaeng. Gelar-gelar tersebut merupakan hal yang sakral karena merupakan penentu status sosial dalam kehidupan bermasyarakat.


Penggunaan gelar bangsawan masyarakat suku Bugis ini berbeda-beda di setiap daerah. Umumnya, gelar bangsawan yang digunakan menggambarkan silsilah keturunan atau asal daerah seseorang. Namun, ada juga beberapa gelar bangsawan yang digunakan secara umum oleh masyarakat di Sulsel.


detikSulsel telah merangkum gelar-gelar bangsawan masyarakat Bugis dan Makassar dari berbagai sumber. Simak selengkapnya berikut ini.


1. Andi

Dikutip dari jurnal Universitas Muhammadiyah Makassar yang berjudul 'Bangsawan di Tanah Adat (Studi Kasus Perubahan Nilai Sosial pada Bangsawan di Desa Bulu Tanah Kecamatan Kajuara Kabupaten Bone)', gelar Andi merupakan sebutan untuk alur kebangsawanan yang diwariskan dari hasil genetis atau garis keturunan Lapatau (Raja Bone ke-16), pasca Bugis merdeka dari Gowa. Gelar ini merupakan tingkatan tertinggi dalam masyarakat Bugis.


Gelar Andi mulai dipakai pada 24 Januari 1713 sebagai perpanjangan keturunan Lapatau. Keturunannya ini berasal dari perkawinan dengan putri raja dari Bone, Luwu, Gowa, Wajo dan putri sultan Hasanuddin hingga sampai keturunan anak dan cucu-cucunya.


Selain itu, versi yang hampir sama menyebutkan bahwa gelar Andi pertama kali digunakan oleh Raja bone yang ke-30 dan ke-32 yaitu La Mappanyukki. Nama tersebut disematkan di namanya pada tahun 1930 atas pengaruh Belanda.


Tujuan dari pelabelan nama Andi yaitu untuk menandai bangsawan yang berada di pihak belanda. Melihat dari keuntungan dan kemudahan ketika ketika memakai gelar Andi di depan namanya, maka para raja serentak menggunakan gelar tersebut.


Gelar Andi ini rupanya tidak hanya dipakai oleh masyarakat suku Bugis. Gelar ini juga cukup lumrah digunakan oleh kaum bangsawan suku Makassar.


2. Petta

Petta merupakan gelar tambahan bagi bangsawan bergelar Andi yang telah menikah. Penambahan gelar Petta ini dilakukan secara otomatis.


Misalnya, seseorang dari golongan Andi yaitu Andi Anwar menikah. Maka setelah menikah nama Andi Anwar akan berubah menjadi Andi Anwar Petta Tuju.


Dikutip dari jurnal Muhammadiyah Makassar yang berjudul 'Transformasi NilaI-Nilai Gelar Kebangsawanan Masyarakat Bugis Kelurahan Wiringpalennae Kecamatan Tempe Kabupaten Wajo' disebutkan bahwa Petta merupakan gelar bagi bangsawan lapisan Ana'karaeng. Hanya saja darah bangsawannya sudah tak kental atau memudar karena perkawinan tak sekasta.


Kaum bangsawan tinggi maupun menengah ketika menikah dengan perempuan dari golongan masyarakat biasa maka darah bangsawannya akan kabur. Dalam masyarakat bugis dikenal istilah 'Malawi'.


3. Datu

Datu merupakan gelar bangsawan tertinggi dalam masyarakat Wajo. Gelar ini disematkan pada nama seseorang yang memang berasal dari lapisan Ana'mattola, yaitu anak yang telah dipersiapkan menjadi raja dalam negerinya.


Gelar Datu bagi seorang Ana'mattoala hanya biasa dipakai ketika ayahnya sebagai seorang raja telah meninggal atau turun tahta. Namun, jika raja memiliki anak lebih dari satu maka hanya satu yang bisa dipilih dan dipersiapkan sebagai Datu.


4. Bau

Gelar Bau merupakan gelar yang dipakai untuk seseorang yang dianggap tinggi derajatnya dari bangsawan biasa. Gelar ini juga kerap digunakan sebagai pengganti istilah Andi.


Secara historis, gelar bau merupakan bentuk pengaruh dari Kerajaan Melayu yang banyak menggunakan istilah yang sama dalam kerajaannya. Arti 'Bau' itu sendiri secara harfiah adalah 'harum' atau 'yang diharumkan'.


Bagi masyarakat Wajo, gelar bangsawan ini hanya bisa digunakan oleh anak raja atau lapisan anak sangaji (hasil perkawinan anak raja Bugis dan Makassar). Oleh karena itu, gelar Bau juga kerap digunakan oleh masyarakat Makassar.



5. Daeng

Dikutip dari jurnal Universitas Airlangga yang berjudul 'Makna Daeng Dalam Kebudayaan Suku Makassar', gelar Daeng merupakan panggilan terhadap orang-orang yang dianggap dari keluarga bangsawan oleh masyarakat Bugis-Makassar. Gelar ini seyogyanya ditujukan pada orang-orang dengan stratifikasi sosial atas.


Dalam kebudayaan suku Makassar, gelar Daeng memiliki makna yang beragam. Daeng dapat dimaknai sebagai nama yang diberikan orang tua kepada anaknya sebagai bentuk penghambaan kepada Allah, serta wujud doa dan harapan agar anak-anaknya kedepan bisa menjadi pribadi yang baik.


Julukan Daeng juga ditujukan kepada orang-orang yang memiliki kelebihan atau prestasi dalam kehidupan sosial masyarakat. Selain itu, juga ditujukan bagi keluarga bangsawan, orang-orang yang dihormati atau dituakan.


6. Karaeng

Dikutip dari jurnal Universitas Alauddin Makassar yang berjudul 'Gelar Karaeng di Kabupaten Jeneponto', sebelum tahun 1945, Karaeng dikenal sebagai orang yang terpandang dalam kalangan masyarakat Makassar. Karaeng merupakan sebutan bagi seseorang yang memimpin dan memerintah suatu wilayah atau kerajaan.


Setelah penamaan Karaeng digunakan untuk raja lokal, maka muncullah gelar Karaeng ini sebagai strata sosial. Penggunaan nama ini hanya diperuntukkan bagi keturunan dari Tomanurung sehingga penggunaan Karaeng dilihat dari aspek keturunan.


Dalam faktor keturunan, hanya laki-laki atau yang dapat mewariskan gelar Karaeng kepada anak-anaknya. Dengan demikian, apabila seorang perempuan yang berdarah Karaeng menikah dengan orang biasa, maka dia tidak biasa mewariskan gelar bangsawan tersebut.


7. Kare

Kare merupakan gelar untuk pemimpin kerajaan lokal sebelum dikenal istilah Karaeng. Munculnya gelar ini menjadi awal terbentuknya pemerintahan kerajaan yang disebut Kekaraeng-ang dan dijadikan sebagai strata sosial tertinggi.


Kare diberi kekuasaan oleh oleh Raja Gowa (Sombayya Ri Gowa) untuk mengatur pemerintahan di Butta Turatea, kini dikenal Jeneponto. Kare pertama yang ditunjuk di Turatea pada saat itu adalah Indra Baji.


8. Puang

Dikutip dari jurnal Universitas Borneo Tarakan yang berjudul 'Strata Sosial Gelar Adat Suku Bugis Pattinjo di Kalimantan Utara (Kajian Sosiolinguistik)', Puang adalah gelar tertinggi sebelum adanya kedudukan raja dalam adat. Kemunculan gelar ini pun tidak terlepas dari sejarah berdarah.


Sejarah Puang berasal dari peristiwa sekelompok masyarakat yang saling membunuh. Dari peristiwa tersebut muncullah seseorang yang menjadi penengah dalam pertikaian tersebut.


9. Arung

Arung adalah seseorang yang memegang jabatan dalam pemerintahan adat. Jabatan yang dimaksud yaitu raja, sehingga Arung disamakan dengan Raja.


Arung yang menjabat sebagai raja harus berasal dari keluarga Puang. Sehingga seorang Arung dalam masa kerajaannya juga biasa disebut Puang.


10. Iye

Iye merupakan gelar bagi orang yang mempunyai keturunan yang bergelar raja. Turunan darahnya tergolong jauh namun masih dalam silsilah keturunan raja tersebut.


Biasanya keturunan raja yang disandang hanya berasal dari salah satu pihak keluarga. Seperti keturunan raja dari salah satu orang tua atau nenek moyang.



11. I dan La

Dikutip dari buku yang berjudul 'Sejarah Kebudayaan Sulawesi' dari Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 'I' dan 'La' merupakan gelar kebangsawanan yang sejak dahulu digunakan masyarakat bangsawan Bugis-Makassar.


Keduanya memiliki makna yang sama, namun yang menjadi pembeda antara keduanya yaitu suku yang menggunakannya. Gelar 'I' kerap dipakai oleh masyarakat Makassar sedangkan gelar 'La' dipakai oleh masyarakat suku Bugis.


Penggunaan kata 'I' dan 'La' dalam Galigo memberikan makna kepemilikan orang Bugis-Makassar terhadap kesusastraan tersebut. Berdasarkan penetapan bangsa Portugis kala itu, wilayah Bugis berada pada Sulawesi bagian tengah sedangkan Makassar berada di Sulawesi bagian Selatan.


12. Opu

Dikutip dari laman resmi Dinas Kebudayaan Yogyakarta, gelar Opu bagi masyarakat Luwu adalah sebuah titulatur kebangsawanan yang diberikan kepada seseorang yang telah menikah. Secara struktur, Opu telah menduduki jabatan dalam birokrasi kerajaan.


Seseorang yang bergelar bangsawan ini akan mendapatkan tempat tersendiri dalam masyarakat seperti para bangsawan tinggi lainnya. Dengan demikian, dengan gelar Opu yang disandang, maka seseorang akan menempati kedudukan yang terhormat di masyarakat.


13. Sombaya

Dikutip dari Jurnal Universitas Hasanuddin yang berjudul 'Perlawanan Masyarakat Adat Terhadap Pemerintah Kabupaten Gowa', sombayya adalah julukan raja yang memerintah kerajaan Gowa. Gelar ini hanya untuk orang yang berasal dari keturunan raja dan menduduki posisi tertinggi dalam pemerintahan Gowa.


Sombaya sendiri dalam bahasa Makassar berarti (raja) yang disembah. Di Sulawesi Selatan, dikenal sebutan Sombaya Ri Gowa yang artinya yang disembah di Gowa.


Nah, itulah tadi ulasan lengkap mengenai gelar-gelar kebangsawanan yang digunakan suku Bugis-Makassar. Semoga bermanfaat! 


Sumber: Risdayanti Ismail - detikSulsel




0 Comments

© Copyright 2022 - Sulselkpk.co.id I Bersama Rakyat Perangi Korupsi