WAJO ---Hidup dan kehidupan manusia, harapan nalurinya membutuhkan kebahagiaan. Harapannya itu terbawa lahir dari rahim ibu. Nuansa kehidupan yang menggembirakan, bukan yang menyengsarakan. Sejatinya memang demikian adanya. Di mana ketiga unsur kemanusiaan, ruh, fisik, dan akal, membutuhkan asupan kehidupannya tersendiri. Butuh kenyamanan, keindahan, kegembiraan, makan minum, peribadahan, dan sebagainya. Menurut narasi Gurutta.
Harapan yang indah kemanusiaan itu, sangat dipengaruhi dan ditentukan oleh kebijakan politik kepemimpinan. Kepemimpinan yang peduli terhadap rakyatnya. Apalagi negara demokratis, sangat tidak elok, jika kepemimpinan negara sampai daerah acuh membiarkan rakyatnya "merana dalam penderitaan." Sungguh tidak bisa dibenarkan akal sehat. Lanjut Gurutta.
Bukankah kepemimpinan negara sampai daerah adalah pilihan kedaulatan rakyat dalam pesta demokrasi?
Nah, di situlah paradoksnya! Lalu siapakah yang patut disalahkan?
Bisa jadi, regulasi sistem kenegaraan belum menemukan pola yang ideal dalam menata perpolitikan negara bangsa Indonesia. Sistem yang memberikan celah penodaan demokratisasi kenegaraan. Peluang terkunci oleh sistem, sehingga tidak bisa tampil figur pemimpin yang berintegritas dan berkapasitas untuk dapat dipilih oleh rakyat dengan penuh kesadaran tanggung jawab kedaulatannya.
Kedaulatan rakyat digiring oleh sistem yang terbatas alternatif pilihan calon pemimpin yang ditetapkan KPU. Pemicunya adalah ambang batas pencalonan 20 persen dari total kursi partai di DPRD TK. I dan II. Contohnya Kab. Wajo. Jumlah kursinya 40. Jadi, persyaratan pasangan calon bupati dan calon wakil bupati, minimal 8 kursi. Jadi, dapat diusung tunggal atau koalisi beberapa partai politik.
Menurut Gurutta, akan sulit menemukan beberapa pilihan yang terbaik, jika misalnya hanya 2 pasang calon. Baiklah kalau keduanya memang layak untuk dipilih menjadi pemimpin. Apalagi, bayangan virus "jual beli suara" masih memungkinkan terjadi. Akhirnya pemimpin yang terpilih bukan murni basis kelayakan. Akan tetapi, terpilih karena logistik. Padahal, seharusnya terpilih karena narasi dan argumentasi kepemimpinannya memang pantas harapan rakyat.
Harapan Gurutta ke depan, agar tidak lagi demokrasi mahal yang ditanggung oleh pemodal, yang kemungkinannya tidak berpikir demi untuk kepentingan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara. Melainkan hanya kepentingannya sendiri. Pemodal yang membiayai pesta demokrasi, hampir dipastikan ingin mendapatkan keuntungan kembali dari pembiayaannya.
Pada akhirnya, Gurutta menyarankan negara agar membenahi tuntas problematika perpolitikan selama ini di Indonesia. Seakan belum menemukan format politik kepemimpinan yang meyakinkan sesuai konstitusi negara bangsa Indonesia. Pembukaan dan batang tubuhnya UUD Tahun 1945
Sumber : Gurutta Syamsul Bahri
0 Comments